Kamis, 15 Desember 2011

OH, AMBISI JABATAN

oleh Joko Suharto

Katakanlah,“Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling merugi perbuatannya?”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan di dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al-Kahfi: 103-104).

Di dalam kehidupan masyarakat kita sekarang ini berkembang anggapan bahwa jabatan dan/atau kekayaan adalah ukuran dari kesuksesan hidup seseorang....  Benarkah seperti itu??. ... Anggapan dan penilaian manusia tidak selamanya benar, karena manusia cenderung dipengaruhi oleh hasrat naluriahnya di samping akal dan kemampuan nalarnya yang sangat terbatas. Maka sering terjadi adanya orang yang mengaggap keputusan yang diambilnya merupakan suatu kebenaran tetapi sebenarnya justru apa yang dilakukan itu merupakan suatu kesalahan yang sangat merugikan.

Bersemangat mengejar cita-cita atau mewujudkan ambisi, dinilai sebagai suatu sikap yang sangat baik bila dipandang dari kacamata manusia secara umum. Tetapi siapa tahu bila dibalik cita-cita itu mungkin terkandung dorongan nafsu hasrat yang “buruk”, atau dalam upaya pencapaian cita-cita tersebut terkandung cara-cara yang melanggar norma, melalui kolusi, nepotisme, menyogok, ataupun dilakukan secara tidak sportif lainnya.  Yang berarti tidak semua semangat mencapai cita-cita dalam kehidupan ini akan sejalan dengan tuntunan agama, atau dalam kata lain tidak semua yang dinilai baik oleh pikiran manusia itu akan selalu sejalan dengan kebenaran dan mendapat Ridho dari Allah SWT.

Ambisi-ambisi manusia pada umumnya akan mengarah pada ambisi jabatan atau kekuasaan, ambisi kekayaan materi atau kemewahan, ambisi ketenaran atau sanjungan, dan juga ambisi ”kelanggengan” dalam hal kenikmatan tertentu.
Bila kita perhatikan, bahwa bilamana seseorang telah memperoleh jabatan yang didasari atau didorong ambisi jabatan atau kekuasaan dan/atau kekayaan, maka akan nampak bahwa dalam pelaksanaan tugasnya akan kurang memberikan makna bagi keberhasilan kerja sebagaimana mestinya. Bagi mereka para “pejabat” yang berkelakuan seperti ini meski pada mulanya nampak memperoleh kesenangan atau kepuasan bagi dirinya namun pada umumnya di masa kelanjutannya mereka akan banyak menghadapi berbagai permasalahan dan kerugian-kerugian. Kehidupan menjadi tidak tenang, banyak benturan permasalahan, rendahnya derajat kemuliaan, ataupun hari tua yang menyengsarakan.

Rosulullah saw. pernah bersabda, “Ketika kamu sangat ambisi dengan kekuasaan, kelak akan menyesal pada hari Kiamat”.(HR. Bukhari dan An-Nasa’i).

Jabatan adalah suatu “amanah”, apalagi bila jabatan itu sebagai jabatan publik, yang tidak pantas untuk dikejar dan diminta. Maka jabatan sebagai suatu amanah harusnya semua tugas harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh sehingga memberikan makna kemaslahatan. Oleh karena itu dalam jabatan dibutuhkan kemampuan, keahlian, kesungguhan, sehingga kondisi kegiatan akan berlangsung efektif sebagaimana tuntutan kebutuhannya.  Bilamana terdapat kelalaian maupun ke-tidak mampuan dalam pelaksanaan tugas maka akan berdampak kerugian yang berkepanjangan bagi masyarakat. Oleh karena itu, sungguh suatu kejahatan bilamana seseorang menginginkan jabatan tetapi tidak didukung oleh kemampuan yang sesuai, atau seorang “pejabat” telah lalai terhadap tugas yang diembannya.

Rosulullah saw pernah bersabda, “Demi Allah, Aku tidak akan mengangkat seseorang untuk memangku suatu jabatan, orang yang meminta-minta agar dirinya diangkat, bahkan tidak pula bagi orang yang mengharap-harap (berambisi) untuk itu”. (HR. Muslim, 1792)

Bila kita perhatikan kondisi kehidupan masyarakat kita di saat ini akan nampak banyak hal yang memprihatinkan, tatanan kehidupan yang masih banyak kesemrawutan, system pelayanan yang nampak kurang berjalan baik, termasuk pelayanan hukum dan pendidikan, suatu kondisi yang menunjukan banyaknya kelalaian yang dilakukan oleh para “pejabat publik” dalam memenuhi amanah dan/atau tugasnya. Mengapa keburukan itu dapat terjadi?, sangat mungkin disebabkan oleh masih banyaknya penyimpangan pada niat atau tujuan dari para pejabatnya saat mereka memperoleh jabatan-jabatan mereka itu.

 Apakah kita juga akan ikut andil dalam membuat kerusakan-kerusakan??

Umat Muhammad adalah golongan umat yang berusaha menjalani kehidupan secara tertib, menjadi manusia beriman dan ihsan. Umat yang menjalani hidup dan beramal secara serius, khusyuk, menghindari cara bekerja yang asal-asalan, karena menyadari bahwa cara bekerja yang asal-asalan bukanlah suatu perbuatan pengabdian kepada Allah, tetapi itu justru suatu perbuatan yang terbawa oleh dorongan nafsu syaitan!. Maka, sekiranya kita sedang menduduki suatu jabatan ataupun sedang melakukan suatu pekerjaan, hendaklah kita melakukan dengan kesungguhan, mengejar hasil yang sebaik mungkin, yaitu sebagai ibadah kita kepada Allah SWT., dan yang tidak dikotori oleh dorongan nafsu hasrat untuk kepentingan pribadi. 

Bilamana kita tidak mau berusaha melaksanakan tugas kita secara baik, lalu, kapan lagi kita akan beribadah kepada Allah?. Hari ini kita masih hidup dan masih berkesempatan untuk melakukan hal-hal kebaikan, sedangkan hari esok?, entah kita tidak tahu nasib diri kita di hari esok!?.  Sungguh, merugilah mereka yang tidak memanfaatkan waktu dan kesempatan yang ada padanya secara baik.

Semoga kita menjadi hamba Allah yang sebaik-baiknya. Insya Allah.

Wallahu A’lam bial-shawab. 



YANG SEMESTINYA KITA RAIH, ...

oleh Joko Suharto

Hal utama apakah yang perlu diraih di dalam hidup kita di dunia ini ?

Sehubungan dengan hal penting tersebut, perlu kita simak Firman Allah sebagai barikut: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (QS. Al Fajr: 27-30).

Berarti, memiliki “Jiwa yang tenang” merupakan hal yang semestinya sangat perlu untuk diraih oleh mereka yang mengharap memperoleh kebahagian Surga-Nya Allah. Jiwa yang tenang akan tumbuh di dalam  diri seseorang bilamana orang yang bersangkutan memiliki hati yang puas atau ridho serta diridho pula oleh Allah SWT. Di dalam ayat-ayat tersebut tergambar bahwa ada kaitannya antara ketenangan jiwa dengan hati yang ridho, serta ada kaitan pula antara hati yang ridho dengan termasuknya orang yang bersangkutan dalam “golongan hamba Allah” dan juga berkait pula akan diperolehnya kebahagiaan “Surga”.

Bagaimanakah caranya agar Kita bisa memiliki hati yang selalu ridho dan juga diridhoi?. Yaitu memiliki hati yang selalu ridho menerima kehidupan kita, ridho menerima segala kondisi yang ada pada diri kita, ridho menerima rezeki apa adanya, ridho menerima musibah apapun bentuknya, dan juga ridho menerima ketentuan-ketentuan lainnya ?.

Sebagai Hamba Allah yang sebenar-benarnya maka diri orang yang bersangkutan akan memiliki keridhoan dan ketenangan jiwa di dalam hidup dan dalam menghadapi kematiannya. Mereka akan memiliki ketenangan dan keridhoan dalam menerima segala ketentuan yang berlaku, jiwanya tidak bergejolak karena nafsu hasratnya terkendali, tak pula muncul kekecewaan karena apapun yang dia terimanya selalu dinilai baik baginya. Begitulah, hati seorang hamba Allah akan selalu berprasangka baik kepada Tuhannya.

Jiwa seseorang akan selalu tenang karena telah tumbuh sifat qona’ah pada dirinya, menerima apa adanya, tidak serakah dan tidak pula bersifat kikir. Dan Dia-pun telah Zuhud, tidak menggandrungi harta dan kenikmatan dunia, sehingga tak muncul sifat iri dengki, dan dia pun selalu bertawakkal berserah diri sepenuhnya kepada ketentuan Tuhannya. Demikian ketenangan akan diperoleh oleh mereka yang memiliki jiwa Qona’ah, zuhud, dan tawakkal.

Saudaraku, tuntunan agama dengan segala hukum-hukumnya, berupa kewajiban-kewajiban, sunnah-sunnah, serta larangannya, semuanya sangat erat hubungannya dengan pembentukan jiwa yang tenang serta untuk memperoleh kebahagiaan Surga.  Maka bagi orang-orang yang kafir, fasik, munafik, syirik, maupun musrik, telah diperingatkan padanya akan memperoleh kerugian-kerugian yang membuat mereka akan jauh dari ketenangan dan kebahagiaan. 

Cobalah kita pikir,.. mana mungkin seseorang yang besar nafsu hasratnya dan banyak melakukan pelanggaran akan memperoleh ketenangan jiwa???...

Sedangkan sikap ketaatan, kekhusyukan, amal kebajikan, serta menjauhi segala kemaksiatan, tentunya akan mewujudkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup.  Begitulah,.. bahwa sudah menjadi suatu hukum nyata bahwa kebersihan hati, kelurusan sikap, dan amal-amal shalih, banyak membantu orang lain akan membuat orang yang bersangkutan memperoleh ketentraman dalam hidupnya.

Saudaraku, bayangkanlah betapa nikmat kehidupan seseorang yang telah memiliki jiwa yang tenang, tak kan terasa adanya kepahitan hidup pada dirinya, takkan kuwatir terhadap kemiskinan, takkan bangga terhadap jabatan dan sanjungan, takkan mengeluh saat memperoleh ujian, dan takkan takut terhadap datangnya kematian. ... Sungguh dirinya telah mendapat kebahagiaan di dunia dan sekaligus memiliki bekal kebahagiaan yang hakiki di akhirat kelak.

Kita perhatikan,.. telah banyak orang yang menjadi lupa diri karena harta dan atau jabatan. Mereka menjadi semakin serakah, telah lupa terhadap umurnya yang semakin dekat dengan kematian. Rasulullah Saw. pernah memberikan peringatan sebagaimana diceritakan oleh Abu Hurairah r.a, bahwa Rasul bersabda : ”Hati orang yang sudah tua dapat menjadi lupa akan usianya bila ia terlalu mencintai hidup dan harta benda”. (HR. Muslim)

Lalu,.. bagaimana dengan keadaan diri Kita saat ini ?, Apakah telah terwujud jiwa yang tenang dalam diri kita?. Sekiranya jiwa Kita masih penuh dengan gejolak-gejolak nafsu hasrat yang besar, masih menggandrungi harta kekayaan, masih muncul keserakahan, masih bernafsu terhadap kekuasaan, masih gila hormat dan mengharap sanjungan-sanjungan, atau masih sangat mencintai kenikmatan dunia lainnya??... Maka, bila seperti itu halnya kita perlu mengintrospeksi diri, mengevaluasi pelaksanaan ibadah-ibadah yang selama ini telah kita kerjakan, dan perlu segera kita memperbaikinya, melalui ightifar dan do’a memohon petunjuk jalan yang benar.

Semoga Allah SWT memberikan tuntunan-tuntunan kebenaran kepada Kita semua. Amiin.

lima poin penting

Pada ayat ini ada lima poin penting yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, yakni :
1. Ketegasan terhadap kaum kafir, yaiitu orang atau sekelompok orang yang menuebarkan kebencian kepada kaum beriman, dalam bentuk lahiriah, seperti mengganggu, menghlangi, dan memerangi langkah-langkah umat Islam. Selama 10 tahun periode dakwah di Madinah, Nabi Muhammad harus berperang sebanyak 27 kali karena diganggu secara lahriah. Secara batiiah gangguan juga muncul dalam bentuk pemikiran dan kebudayaan yang menjauhkan umat Islam dari ajaran Allah.
2. Saling mengasihi dengan sesame Muslim. Menjalin kerjasama erat, membina kekohan ukhuwah, ibarat satu tubuh yang harsmonis, seia sekata dalam suka dan derita dana tolong menolong di dalam kebajikan dan ketakwaan.
3. Ruku dan Sujud. Tunduk dan patuh melalui kepemimpinan yang jujur dalam membimbing umat, keluarga, dan dalam menjalankan roda kehidupan sehari-hari. Ruku dan sujud bukan hanya saat salat, tetapi tercermin pada kegiatan social.
4. mencari karunia Alah dan keridlaan-Nya dalam setiap gerak dan lagkah, dalam berpikir, dan bertindak. Semua gerak dan langkah tidak terlepas dari hokum Allah serta petunjuk Rasulullah. Aturan yang sekiranya menjauhkan dari keridlaan Allah sedapat mungkin disingkirkan.
5. Menampakkan tanda-tanda sujud. Bukan hanya garis atau bulatan hitam di dahi, melainkan langkah dan perbuatan benar-benar menunjukkan wujud kepatuhan dan ketundukan kepada Allah SWT.
Momentum peringatan Maulid Nabi sekaligus bisa digunakan untuk melakukan interospeksi diri, apakah lima point keteladanan Nabi Muhammad sduah dilaksanakan atau belum. Sudahkah kita tegas terhadap siapa saja yang menghalangi pelaksanaan hokum Islam sbagai rahmatan lil alamin? Ikut terjun melawan hawa nafsu atau malah sebaliknya kita mudah terbujuk oleh ajakan untuk menolak ajaran Allah?
Selain itu, apakah kita juga mampu mempertahankan ukhuwah Islamiyah, atau malah sebaliknya suka memusuhi sesama umat Islam, dengan berbagai alasan? Jangan sampaoi kita malah lebih banyak bergaul dengan musuh-musuh Islam? Mengecam keunggulan dan kejayaan umat Islam agar runtuh dan hancur, seringkali tidak sengaja dilakukan.. Hal ini harus menjadi introspeksi pada hari Maulid Nabi Muhammad SAW.
Tentu saja pertanyaan jug diarahkan kepada kita, apakah sudah ruku dan sujud dengan aturan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Sejauh mana kepatuhan kita terhadap aturan Allah. Jangan-jangan kita malah lebih patuh pada aturan kelompok, negara atau para pejabat yang belum tentu sejalan dengan aturan Allah.
Sudahkah kita mampu menunjukkan tanda-tanda sujud kita di dalam kehidupan sehari-hari. Salat mencegah kerusakan dan kemungkaran akhlak dan akidah. Atau malah kita terjerembab ke dalam kubangan kemaksatan, walaupun salat kita dilakukan dengan baik, dan ditunjukkan dengan bercak hitan di dahi. Demikian pula apakah puasa yang kita lakukan juga memberikan pengaruh pada kemurahan dan kedermawanan? Atau malah hanya membawa kita kepada ujub, riya, dan takabur? Demikian pula ibadah haji yang dilakukan, sudahkah mengubah perilaku sehari-hari dan membawa pada ketreguhan tauhid Islam?
Beberapa hal di atas sudah sepantasnya menjadi bahan renungan pada Maulid Nabi Muhammad. Jangan hanya melakukan upacara tanpa makna, sehingga apa yang dilakukan hanya sebatas fisik, tanpa membawa perubahan dalam pola piker dan bertindak. Mari kita lakukan introspeksi dan meneguhkan semangat untuk memperbaiki keimanan dan ketakwaan kita kepada ajaran Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.